Saturday, 8 June 2019

Pasien dan Dokter


Allahu Akbar...gak jenuh bacanya...
Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit...
“Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”

“Kuat, Pak.”

“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”

Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”

“Maksudnya, Pak?”

“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”

“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”

“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.

“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.

“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”

“Iya, Pak.”

“Itu salah kaprah.”

“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”

“Ya ‘kan bisa di rumah.”

“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”

“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’

Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.

Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”

“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”

“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”

“Wah, wah, wah..”

“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”

“Lhoh, njenengan pernah Pak?”

“Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.

Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.

“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai. Ia lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala. Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.

Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”

“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi,aku manggut-manggut.

Tak asing dengan teori ini.

“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu! Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.

Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”

Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.

“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.

Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.

Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus.

Kadipiro Yogyakarta, 2016

Dari wordpress GUBUGREOT

Boleh di share biar lebih bermanfaat buat orang banyak, kalo pelit di simpen sendiri juga gak apa apa =D

Rasulullah S.A.W bersabda :"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala." (HR. Al-Bukhari)copas,com

Plat B mana?

Plat B mana?

Okke langsung saja,, mengutip data dari wikipedia di sini,, berikut rinciannya…
Huruf yang mewakili kategori tempat terdaftarnya kendaraan:
U —> Jakarta Utara
B —> Jakarta Barat
P —> Jakarta Pusat
S —> Jakarta Selatan
T —> Jakarta Timur (Pasar Rebo, Kampung Rambutan, Cilangkap)
Z —> Kota Depok (Cinere, Limo, Sawangan)
E —> Kota Depok (Sukmajaya, Cimanggis, Beji, Cipayung)
N —> Kabupaten Tangerang (Gading Serpong, Mauk, Tigaraksa)
C —> Kota Tangerang (Karawaci, Neglasari, Cibodas, Tangerang Kota, dan Bandara Soekarno Hatta)
V —> Kota Tangerang (Ciledug, Larangan, Perdurenan, Cipondoh)
K —> Kota Bekasi
F —> Kabupaten Bekasi
Y —> Kabupaten Bekasi
W —> Kota Tangerang Selatan
G —> Kabupaten Tangerang
Naaaahhh gimana brosist,, udah jelas khan….?? Jadi kalo suatu saat ngeliat motor dengan nomor plat B 3234 CXX,, maka itu bukan berasal dari Jakarta ya,, tapi masuk jajahannya Kota Tangerang,, begitu juga dengan nomor plat B 3456 KXX,, itu tandanya doi masuk jajahannya Kota Bekasi,,,,, dan contoh-contohnya lainnya…..
Okke cukup sekian brosist,, singkat saja, hanya bertele-tele di intro sajjjaaahhh…. :mrgreen:

Jog Jakarta

Berhubung postingan saya dihapus, saya coba posting lagi. Bukan cerita yang sama. Ini dari kontemplasi aja...

Kontras banget kalo diliat antara RITME kehidupan di kota besar dengan kota kecil palagi pedesaan begitu jauh beda.

Saya bandingin, antara jakarta dan jogja kota yang saya biasa nyupir sendiri atau datengin minimal 2-3 bulan sekali. Meskipun sama sama kota, tapi ritme kehidupan jauh beda.

Jakarta berdenyut kencang. Orang harus gesit kalo ngga mau "digesitin". Pergerakan begitu cepat dan dinamis. Salah satu upaya untuk tetap gesit yaitu dengan efisiensi waktu. Waktu adalah uang yang kadang berubah jadi pedang mungkin ada benar nya di jakarta. Sebisa mungkin, secepat mungkin point point yg jadi tujuan atau target tercapai. Disini jalur busway di sterilkan biar cepat. Dibikin MRT biar orang bisa cepat tanpa harus buang waktu terlalu lama di jalan.

Orang di jakarta sudah terlalu banyak buang energi dan waktu untuk macet macetan di tengah hari panas panasan. Ngga gampang buat mereka untuk mentolerir waktu 1 detik kebuang.

Sementara jogja begitu halus, ibarat seperti matic CVT yg minim hentakan. Ngga selalu harus berakselerasi cepat. Santai saja, nikmati jalan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jogja. Bukan nya enak sekali keliling pake becak atau andong di jalan jalan perkotaan jogja yang begitu hangat dan khas?

Nah, ritme jakarta yang begini ngga sama dengan ritme jogja. Bagaimana jogja berjalan ngga sama dengan bagaimana jakarta berjalan. Akhirnya benturan pun tak terelakkan antara yg sudah terbiasa dengan ritme jakarta dengan yg masih sangat jogja.

Di jalan,

Orang yg terpengaruh ritme jakarta sangat sangat sulit untuk menerima waktu 1 detik yang kebuang sia sia karna mobil/motor di depan telat ngerespon lampu hijau. Maka reaksi mereka kalo lampu merah sudah mau hijau lebih agresif lagi. Tetat tetot tetat tetot dan makian jadi semakin dimaklumi kalo mobil di depan telat respon lampu hijau.

Di jogja?

Ngga begitu. Jauh sekali..

Entah seberapa banyak dan lama nya lampu merah, orang yg terbiasa dengan ritme jogja lebih toleran dengan waktu 1,2,3 detik setelah lampu merah berubah hijau. Maka sangat sangat sedikit yg klakson tetat tetot tetot di lampu merah. Nyebrang di zebra cross di jogja pun sangat sangat aman rasanya. Ngga ada yang bakalan ganggu. Saya pun jadi malu mau asal klakson di lampu merah di jogja. Karna bakalan jadi satu satunya yg pencet klakson.

Di lampu merah nya pun tulisan LED muncul. Masih merah. Tunggu hingga hijau.

Himbauan begini ngga bisa diterima orang dengan ritme jakarta. Ngga akan didengerin.

Kalo 2 orang dari latar ritme yg beda ketemu di jalan, ngga heran benturan lah kedua nya.

STEREOTIPE bertebaran.

Yg satu dinilai songong tengil pecicilan ngga sabaran, yang satu dinilai lamban klemar klemer bikin orang gregetan.

Sedikit pun ngga ada hubungan nya dengan Suku atau etnis palagi Plat.

Masalah ritme yang jadi kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Nah disitulah kita, kalo ngga cuma saya sendiri berlatih untuk beradaptasi lebih baik lagi.

Dimana bumi dipijak, disitulah langit di junjung.

Sejarah Yamaha RX100 Sampai RX-King

Sejarah Yamaha RX100 Sampai RX-King
GridOto.com - Ibarat pepatah tuba setitik rusak susu sebelanga, begitulah dengan nasib Yamaha RX King.
Karena zaman dulu era 90-an begal dan jambret sering menggunakan motor ini, jadilah sekeluarga dipanggil si jambret.
Meski ada yang kesal dengan panggilan tersebut, namun banyak juga yang bangga dengan julukan tersebut.
Itu karena dari dulu menggunakan mesin dua tak yang tarikannya terbilang ngacir, sekali tarik gas bisa ngabret ceuk urang Sunda mah...
Bukan soal panggilannya yang GridOto.com akan bahas kali ini, tetapi anggota-anggota keluarganya.
Ada apa saja? Yuk disimak sampai habis.
Jangan lupa siapkan kopi dan cemilan, karena memang panjang banget nih artikelnya, hehehe...
1. Yamaha RX100 (1977)
Yamaha RX100Yamaha RX100 (Yamaha)
Nah ini dia sesepuhnya dari keluarga jambret, Yamaha RX100 meluncur pada tahun 1977.
Mesinnya dua tak dengan kubikasi hanya 100cc dengan power 11,5 dk dengan top speed 110 km/jam, terbilang kencang tuh pada masanya!
Yang bikin legendaris, meski punya mesin dua tak konsumsi bensinnya irit banget Sob! Satu liter bisa buat 40 km!
Sebetulnya sebelum RX100, ada RX125 Twin yang dijual di Indonesia pada tahun 1976.
Hanya saja, RX125 Twin bukan keluarga RX karena aslinya bernama RD125 dan hanya ganti nama saja saat masuk Indonesia.
2. Yamaha RX125 (1979)
Yamaha RX125Yamaha RX125 (Yamaha)
Nah generasi selanjutnya, GridOto.com bahas RX125 satu silinder yah, bukan yang twin.
Mesin dua tak-nya punya kubikasi asli 123cc yang bisa menyemburkan power sampai 13 dk.
Oh ya, sama seperti RX100, Yamaha RX125 masih dibekali 4 percepatan.
3. Yamaha RX-K (1980)
Brosur Yamaha RX-KBrosur Yamaha RX-K (Alexz/Retro Malaysian Riders)
Ini dia motor yang benar-benar jadi cikal bakal RX-King, itu karena Yamaha RX-K sudah dibekali mesin 135cc.
Power maksimal 17,5 dk dan bisa digeber sampai 150 km/jam, kebut banget pada masanya!
Yamaha RX-K ini merupakan CBU dari Jepang, makanya punya kedok lampu alias bikini fairing.
Sayangnya motor ini kurang laku di pasar Indonesia dan hanya bertahan hingga tahun 1983 saja.
4. Yamaha RX-S (1981)
Yamaha RX-SYamaha RX-S (Yamaha)
Kalau bapakmu anak motor yang udah mainan motor dari tahun 1980-an, pasti deh bingung dengan banyaknya seri Yamaha RX yang bertebaran saat itu.
Setelah RX-K, Yamaha kembali meluncurkan RX-S yang punya kubikasi 115 cc.
Sama seperti RX-K, Yamaha RX-S juga didatangkan langsung dari Jepang dari tahun 1981 hingga 1983.
5. Yamaha RX-Special (1983)
Yamaha RX-SpecialYamaha RX-Special (bikepics.com)
Makin bingung lagi nih pecinta motor dua tak di Indonesia ketika Yamaha meluncurkan RX-Special.
Kisahnya mirip dengan RX-K yang menjadi RX-King, ternyata RX-Special memang pengembangan dari RX-S.
Mesinnya sendiri sama dengan yang digunakan pada RX-S.
6. Yamaha RX-King Cobra (1983)
RX-King CobraRX-King Cobra (Awank/google.plus)
Akhirnya yang sudah ditunggu-tunggu, bisa dibilang inilah motor dua tak Yamaha yang paling legendaris di Indonesia.
Dibuatnya enggak asal-asalan, sebab Yamaha melakukan survey ke berbagai daerah.
Generasi pertama dari Yamaha RX-King diberi julukan Cobra karena bentuk setang dan tangkinya.
Mesin dua taknya masih rakitan Jepang, sedangkan rangkanya rakitan Indonesia.
Ini yang bikin mesin Yamaha RX-King Cobra dengan kode Y1-Y2 jadi incaran pebengkel dan kolektor.
Soal spesifikasi mesinnya, 135cc dengan power maksimal 18,2 dk dan torsinya 15,1 Nm di 8.000 RPM.
7. Yamaha RX-Z (1985)
Yamaha RX-ZYamaha RX-Z (Yamaha)
Ibarat saudara kandung tapi beda jalan hidup, begitulah pengibaratan Yamaha RX-Z dengan RX-King.
Perbedaannya dengan RX King di panjang langkah silinder RX-Z yang 56 x 54 mm, sedangkan RX-King 58 x 50 mm.
Makanya RX-Z punya tagline sang penjelajah, karena memang tarikan napasnya lebih panjang kalau digeber.
Desainnya pakai kedok lampu, undercowl, sampai model knalpotnya bikin RX-Z terlihat lebih modern dan racy dibandingkan RX-King.
Oh ya, ada versi full fairing dari RX-Z yang diberi nama Yamaha RZ-R.
8. Yamaha RX-R (1988)
Yamaha RX-RYamaha RX-R (Yamaha)
Baru tau ada Yamaha RX-R? Wajar, populasinya memang sedikit di Indonesia.
Selain itu kurang laku dibanding RX-King karena desainnya sama, tapi kubikasinya lebih sedikit jadi kesannya nanggung banget.
Yamaha RX-R menggunakan mesin 115 cc yang mirip dengan Yamaha RX-Special.
Jaman sekarang, Yamaha RX-R dengan kondisi baik jadi collector's item buat para pecinta Yamaha RX-series karena emang langka banget yang beredar.
9. Yamaha RX-King Master (1996)
Yamaha RX-King MasterYamaha RX-King Master (Yamaha)
Generasi kedua dari Yamaha RX-King ini muncul di tahun 1996 hingga 2001.
Perbedaannya dengan RX-King Cobra, mulai RX-King Master mesinnya sudah dibuat di Indonesia.
10. Yamaha New RX-King (2002)
Yamaha New RX-KingYamaha New RX-King (Yamaha)
Nah kalau yang satu ini adalah generasi terakhir dari keluarga RX-King sebab dihentikan produksinya karena regulasi emisi.
Padahal RX-King New ini sudah ada penambahan catalytic converter pada knalpotnya sehingga emisinya bisa ditekan.
Selain itu, karena ada catalytic converter itulah asapnya tidak ngebul seperti generasi lamanya, sehingga sering dikatakan RX-King empat tak karena tak ada asapnya.
Uniknya, lampu depannya balik jadi bulat seperti RX100 dan RX125.
RX-King dengan segala perjalanan panjangnya harus dihentikan di tahun 2008.
Tapi karena namanya sudah terlalu legendaris, justru di zaman now harganya malah menjadi tinggi.
Kalau ada yang kondisinya masih baik, dijamin harganya bisa gila-gilaan.
Nah kamu (atau mungkin bapakmu) punya kenangan manis enggak dengan keluarga jambret ini?

Honda NSR

Honda NSR
Pertama datang, NSR telah mengadopsi rangka full deltabox murni yang
biasa digunakan untuk motor balap.
Motor bermesin 150 cc 2-tak ini, juga telah dilengkapi pendingin mesin radiator yang belum diadopsi motor sport lokal kala itu.
Kecuali Kawasak AR125 yang stop produksi lebih awal.
Tidak lupa, desain Honda NSR 150 yang sporty punya andil besar dalam membuat ngiler para bikers yang melihatnya.
“NSR jadi motor dengan teknologi paling tinggi kala itu.
Mesinnya sudah pakai teknologi RC Valve yang membuat tenaga di setiap putaran terus mengisi.

–– ADVERTISEMENT ––

Makanya, harga motor ini juga paling mahal dibandingkan kompetitornya,” ucap Ervino Latief, pendiri NSR Motorcycle Club (NMC) Bekasi.
RC Valve sendiri merupakan perangkat tambahan berupa katup butterfly di lubang buang. Kerja katup ini dikontrol langsung oleh CDI.

Mekanisnya, katup butterfly akan menutup seperempat lubang saat putaran rendah, dan membuka lebar ketika RPM mulai meninggi.
Kerjanya, mirip katup KIPS pada Kawasaki Ninja 150 R saat ini.
Kalau berbicara sejarahnya, awal NSR 150series masuk ke Indonesia mulai tahun 1994 lewat NSR 150 R.
Meski harganya cukup tinggi, motor ini tetap laris manis di Tanah Air. 
(Dok M+)
Model ini bertahan hingga tahun 1998, dengan mengalami beberapa update pada warna, striping, dan bentuk behel.
Tahtanya dilanjutkan dengan masuknya Honda NSR RR ditahun 1999.
Varian ini juga akrab disebut dengan NSR Astra.
“Jadi, itu model hasil pengembangan Honda Thailand. Karena terbentur masalah emisi, jadi dijual di sini. Itupun stoknya sangat terbatas,” tambah Ervino.

(Dok M+)
Satu tahun kemudian, masuk NSR New RR di tahun 2000.
Desain bodi model ini telah mirip dengan model NSR SP.
Beda di desain swing arm dan mesinnya saja.
Tampilan warnanya juga lebih atraktif dibandingkan model Astra.

Sama seperti model Astra, NSR New RR sudah tidak dijual langsung oleh Astra Honda Motor (AHM).
Motor ini banyak dijual di para importir umum.
Model pamungkas di NSR 150 series ini adalah NSR 150 SP. Model ini menggunakan single arm yang menjadi ciri khas model ini.
Teknologinya terapan dari NSR 250 MC versi GP.

Ada pembenahan counter weight crank shaft, untuk meringankan putaran bawah serta meminimalisir getaran saat dipacu hingga top speed.
Makanya model ini menjadi salah satu buruan utama para bikers.
"Kehancuran NSR dipicu dari sulitnya mencari spare part kala itu. Karena dibeli lewat importir umum, jadi jarang bengkel yang menyiapkan spare part-nya," cerita pendiri klub yang masih punya dua NSR
di garasinya.
Dua tahun belakangan ini, pecinta sepeda motor kembali melirik NSR sebagai buruan.

Bisa dibilang motor ini kembali naik daun sebagai pacuan legenda 2-tak.
Karena banyak yang mencari dan stok barangnya sudah langka, harga seken NSR saat ini ikut melambung tinggi.
“Sekarang harganya kembali tinggi. Untuk NSR 150 R yang RC Valve-nya masih berfungsi bisa laku 13 jutaan.
Untuk tipe RR harganya berkisar Rp 18 – 23 juta. Nah untuk model SP paling tinggi, masih tembus Rp 33 juta, tergantung kondisi,”
tutup ayah satu anak ini.

Monoshock Aerox

Mau cerita sedikit soal Monoshok di Aerox

Udah pakai kurang lebih 5 bulan, Aman sentosa gaada yang namanya musibah (Syukurlah), saya pakai BreketMonoshok CNC Alumunium buatan Ian Juno Jogja + Shok original Vixion dan itu enak banget + harga paling terjangkau untuk Monoshok dengan bahan terbaik. Posisi ngebut sendiri (75kg) / goncengan (150kg berdua) aman aman aja, kecepatan hampir 120km/jam aman + gaada goyangan sama sekali. Setiap hari kekampus goncengan lewat jalan yang kurang bagus aman aman aja. Masalah getaran sama seperti Dualshok, lebih rajin lagi untuk bersihkan CVT agar dapat mengurangi getaran pada motor + untuk mengurangi Gredek bagian CVT.

Kelebihan nya :
-Motor lebih ganteng
-Shok belakang lebih empuk
-Dengan harga yang murah dapat breket berbahan dasar Alumunium proses dengan Mesin CNC (PRESISI 100%) + shok ori vixion yang bagus untuk pemakaian sehari2
-Ada harga, Ada Kualitas
-Banyak yang pakai bahkan sampai luar negri
-Bahan Alumunium seri 6 (dibawah 1 tingkat bahan dasar yang dipakai Pesawat terbang)

Kekurangannya :
-Motor lebih tinggi sedikit

Saran :
-Pakai lah Breketmono yang terbaik
-Pentingin Kualitas bukan harga (Masalah harga bisa nabung dulu pelan2)
-Cari lah Shok mono yang bagus (Original Vixion kode 1PA Sudah SANGAT CUKUP)
-Jangan membeli Breket yang tidak banyak Riview nya karna dapat membahayakan diri sendiri + motor kita + orang lain
-Jauhkan dari hal membeli Breket dengan harga yang murah (karna kualitas sesuai dengan harga)

ini hanya pengalaman pribadi aja, siapa tau bermanfaat THANKS BROO🙏🙏